Bagaimana Kami Makan di Pesantren

Bismillah, Assalamu’alaikum warohmatullahi wabarokatu.

Alhamdulillah, washolatu wasalamu wa ‘ala rasulillah wa ala alihi wa sohbihi ajmain.

Saya menyempatkan diri untuk bewudhu terlebih dahulu sebelum mulai menulis konten ini. Karena ini adalah tulisan pertama saya di website yang dikelola oleh pesantren, maka saya ingin menulisnya dengan hati dan pikiran yang bersih *asek.

Ide tulisan ini adalah dari Pak Pres (Mas Vatih) yang ditugaskan kepada saya dan santri angkatan 2 lainnya yang akan segera gantung peci (wisuda). Jadi ini adalah semacam tugas terakhir sebelum kami kembali ketempat masing-masing dan terjun langsung ditengah masyarakat.

Dan yang ingin saya bagi di kesempatan kali ini adalah tentang “bagaimana kami makan di pesantren?” Kebutuhan dapur adalah salah satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi dalam mengelola pesantren. Ada dua dapur yang terdapat di pesantren kami.

Ada dapur khusus yang digunakan para santri untuk masak air, masak nasi, bikin mie instan, bikin kopi dan lain-lain yang letaknya di dalam asrama. Yang kedua ada dapur umum di luar asrama yang biasa digunakan mbak dapur untuk menyiapkan makanan para santri. Setiap santri akan dapat giliran piket menanak nasi atau bahasa sininya ngeliwet.

Jadi nasi kita masak sendiri menggunakan rice cooker yang sudah disediakan oleh pesantren, sedangkan sayur dan lauknya sudah dimasakin sama mbak dapur. Sejak pertama saya datang di Sintesa yang semoga selalu diberkahi ini (amin), saya dan teman-teman santri lainnya selalu makan bersama dengan menggunakan nampan, satu nampan bisa untuk tiga sampai empat orang santri.

Kami bersyukur diberikan fasilitas yang lengkap disini, yang mungkin tidak bisa kita temukan di tempat lain dan semuanya gratis. Semua fasilitas ini disediakan agar santri bisa lebih fokus belajar tanpa disibukkan dengan kegiatan masak memasak.

Berbeda dengan angkatan pertama yang sebelumnya tinggal di Jogja. Pesantren tidak menyediakan makanan untuk para santri. Santri angkatan pertama memasak sendiri dan belanja di warung makan sekitar. Jadi nggak heran kalau santri angkatan 1 lebih mahir memasak karena jam terbangnya yang tinggi.

Tapi sekarang pesantren sudah memiliki sistem makan seperti pondok-pondok modern lainnya. Sehingga santri tidak disibukkan dengan urusan makanan dan memiliki waktu yang lebih banyak untuk belajar. Dan untuk menentukan menu hariannya, yang paling berperan penting di sini adalah Bu Pres (istri Mas Vatih), dari mempertimbangkan variasi menu, kandungan gizi sampai mengatur budget yang harus dikeluarkan untuk konsumsi para santri.

Sehingga semua santri bisa benar-benar menikmati makanan yang disediakan disini, selain halal juga harus thoyyib. Seperti yang sudah dijelaskan dalam Qur’an, surat Al Maidah ayat 88 yang artinya, “dan makanlah makanan yang halal lagi baik (thoyyib) dari apa yang telah dirizkikan kepadamu dan bertaqwalah kepada Allah dan kamu beriman kepada-Nya”

Mas Vatih pernah memberikan materi tentang pentingnya makanan halalan toyyiban. Makanan thoyyib sudah pasti halal, tapi makanan yang halal belum tentu thoyyib, begitu kata beliau. Seperti mie instan kuah kari yang gurihnya nggak ketulungan itu, ada lebel halalnya namun tidak thoyyib karena menggunakan banyak penyedap rasa dan bahan pengawet lainnya.

Bahan-bahan tersebut jika masuk ke dalam tubuh dalam jumlah yang banyak dan sering maka akan menyebabkan timbulnya penyakit. Intinya makanan yang tidak thoyyib akan berdampak buruk bagi kesehatan kita. Maka dibuatlah peraturan yaitu hanya boleh makan makanan junk food 2 pekan sekali.

Peraturan ini dikeluarkan langsung oleh Mas Vatih, biasanya para santri membuat peraturan sendiri yang kemudian disetujui oleh Mas Vatih. Namun mas Vatih menyampaikan peraturan ini sendiri, jadi pastinya peraturan tentang makanan halalan thoyyiban ini sangat-sangat important.

Selain memilih makanan yang thoyyib, kami juga melakukan adab-adab makan Rasulullah saw. Sifat tawaduk mesti dilakukan ketika kami sedang berhadapan dengan makanan, bukan hanya kepada manusia saja. Disini kami juga diajarkan untuk bersikap tawaduk terhadap makanan, yaitu menghargai kepada makanan tersebut.

Rasulullah saw bila mana selesai makan maka beliau akan membersihkan sisa-sisa makanan yang ada pada tiga jari Nabi saw, dari ibu jari, jari telunjuk dan jari tengah. Nabi saw akan memulai membersihkan sisa makanannya pada jari itu dimulai pada jari tengah beliau, kemudian jari telunjuk, kemudian ibu jari. Dan ini adalah sunnah.

Apa tujuan Nabi saw melakukan hal tersebut? Pertama karena tidak ingin mempunyai sifat mubazir walaupun satu butir nasi. Kedua, ingin menghargai rizki Allah swt walaupun hanya satu butir nasi. Ketiga, mungkin saja pada sisa-sisa makanan yang ada pada jari di situ diletakkan keberkahan oleh Allah swt, karena setiap makanan itu adalah rizki dan Allah meletakkan berkat yang kita tidak tahu dimana keberkahan yang ada pada makanan yang kita makan.

Berkat yang diletakkan Allah swt pada makanan mungkin pindah ke tangan kita, yang kalau kita langsung cuci tangan tanpa membersihkannya berkah yang ada pada tangan itu kita buang begitu saja. Sementara yang kita cari dari makanan yang kita makan adalah keberkahan pada makanan tersebut.

Dan yang terakhir adalah kalo kita menyisakan makanan tersebut tanpa dibersihkan mungkin saja makanan itu akan menjadi santapan as-syaiton. Setan kita beri makan sampai gemuk dan dia akan menggoda kita, teman kita, guru kita, keluarga kita. Kita yang memberi makan itu setan.

Kita yang memberi makan setan dengan kita tidak melakukan adab ketika makan, baik itu membaca Bismillah sebelum makan, makan menggunakan tangan kanan dan membersihkan sisa makanan agar jangan sampai terbuang, karena setan makan dan minum dengan menggunakan tangan kirinya. Jika lupa membaca basmalah sebelum makan maka bisa membaca “bismillahi awalahu wa akhirahu“.

Nabi saw juga mengajarkan kita agar duduk saat makan atau minum dan tidak bersandar. Menurut sebuah penelitian makan dan minum sambil duduk lebih sehat daripada berdiri, hal ini karena ketika berdiri makanan langsung jatuh ke usus dan menyebabkan terjadinya disfungsi pencernaan.

Nabi saw juga melarang kita meniup-niup makanan atau minuman yang panas. Selain menghilangkan keberkahannya, meniup makanan atau minuman yang panas bisa menghasilkan persenyawaan H2CO3. Senyawa ini jika masuk ke dalam tubuh kita, maka bisa mengakibatkan penyakit jantung.

Kalau ada makanan yang jatuh, di sini kami tidak ragu untuk mengambil dan membersihkannya, kemudian dimakan, karena ini adalah sunnah. Mungkin orang yang tidak terbiasa akan bilang “kotorlah itu, seperti tidak ada makanan lain saja”. Mau ikut kata orang, atau ikut perbuatan Nabi saw?

Ya kecuali kalau sudah kelihatan makanan itu bercampur dengan benda yang tidak bisa untuk dibersihkan dan dimakan. Tapi selagi masih bisa dibersihkan, maka bersihkan dan kemudian makan. Inilah yang dilakukan oleh Nabi saw dan kami amalkan setiap hari di pesantren Sintesa.

4 thoughts on “Bagaimana Kami Makan di Pesantren”

Leave a Comment